KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan
Rahmat, Inayah, Taufik dan Hidayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan
penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana.
Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan,
petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam administrasi pendidikan dalam
profesi keguruan.Harapan saya semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.
Makalah ini saya akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang saya miliki sangat kurang. Oleh kerena itu saya harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah.
Jakarta, Septrmber 2012
Penyusun
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………………………… …. ii
BAB I PENDAHULUAN
- Latar Belakang Masalah …………………………………………………………….. 1
- Rumusan Masalah ……………………………………………………………………… 3
- Tujuan dan Manfaat Penelitian…………………………………………………….. 3
- Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)……………………………………………. 4
- Penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)…………………………….. 8
- Strategi Peningkatan Mutu Pendidikan Melalui Penerapan MBS……… 18
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………………. 27
BAB I
PENDAHULUAN
- A. Latar Belakang
Sekolah adalah salah satu dari Tripusat
pendidikan yang dituntut untuk mampu menjadikan output yang unggul,
mengutip pendapat Gorton tentang sekolah ia mengemukakan, bahwa sekolah
adalah suatu sistem organisasi, di mana terdapat sejumlah orang yang
bekerja sama dalam rangka mencapai tujuan sekolah yang dikenal sebagai
tujuan instruksional.
Desain organisasi sekolah adalah di
dalamnya terdapat tim administrasi sekolah yang terdiri dari sekelompok
orang yang bekerja sama dalam rangka mencapai tujuan oranisasi.
MBS terlahir dengan beberapa nama yang
berbeda, yaitu tata kelola berbasis sekolah (school-based governance),
manajemen mandiri sekolah (school self-manegement), dan bahkan juga
dikenal dengan school site management atau manajemen yang bermarkas di
sekolah.[1]
Istilah-istilah tersebut memang mempunyai
pengertian dengan penekanan yang sedikit berbeda. Namun, nama-nama
tersebut memiliki roh yang sama, yakni sekolah diharapkan dapat menjadi
lebih otonom dalam pelaksanaan manajemen sekolahnya, khususnya dalam
penggunakaan 3M-nya, yakni man, money, dan material.
Penyerahan otonomi dalam pengelolaan
sekolah ini diberikan tidak lain dan tidak bukan adalah dalam rangka
peningkatan mutu pendidikan. Oleh karena itu, maka Direktorat Pembinaan
SMP menamakan MBS sebagai Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah
(MPMBS).[2]
Tujuan utama adalah untuk mengembangkan
rosedur kebijakan sekolah, memecahkan masalah-masalah umum, memanfaatkan
semua potensi individu yang tergabung dalam tim tersebut. Sehingga
sekolah selain dapat mencetak orang yang cerdas serta emosional tinggi,
juga dapat mempersiapkan tenaga-tenaga pembangunan. Oleh karena itu
perlu diketahui pandangan filosofis tentang hakekat sekolah dan
masyarakat dalam kehidupan kita. sekolah adalah bagian yang integral
dari masyarakat, ia bukan merupakan lembaga yang terpisah dari
masyarakat, hak hidup dan kelangsungan hidup sekolah bergantung pada
masyarakat, sekolah adlah lembaga sosial yang berfungsi untuk melayani
anggota2 masyarakat dalam bidang pendidikan, kemajuan sekolah dan
masyarkat saling berkolerasi, keduanya saling membutuhkan, Masyarakat
adalah pemilik sekolah, sekolah ada karena masyarakat memerlukannya.
- B. Rumusan Masalah :
Adapun beberapa masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah :
1) Apa yang dimaksud dengan manajemen berbasis sekolah (MBS)?
2) Bagaimana penerapan manajemen berbasis sekolah (MBS)?
- C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka penulisan makalah ini bertujuan :
1) Untuk mengetahui Manajemen berbasis sekolah (MBS)?
2) Untuk mengetahui penerapan Manajemen berbasis sekolah (MBS)?
Adapun manfaat dari makalah ini adalah :
1) Sebagai solusi alternatif dalam mengelola dan memanejemen pendidikan di sekolah
2) Menambah wawasan penulis pembaca
makalah ini dalam memahami contoh dari perubahan dan inovasi pendidikan
dalam aspek manejemen dan pengololaan pendidikan khususnya di sekolah.
BAB II
PEMBAHASAN
- A. Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
1) Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Istilah manajemen berbasis sekolah merupakan terjemahan dari “school-based management”.
MBS merupakan paradigma baru pendidikan, yang memberikan otonomi luas
pada tingkat sekolah ( pelibatan masyarakat ) dalam kerangka kebijakan
pendidikan nasional.
Menurut Edmond yang dikutip Suryosubroto
merupakan alternatif baru dalam pengelolaan pendidikan yang lebih
menekankan kepada kemandirian dan kreatifitas sekolah. Nurcholis
mengatakan Manajemen berbasis sekolah (MBS) adalah bentuk alternatif
sekolah sebagai hasil dari desentralisasi pendidikan.[3]
Secara umum, manajemen peningkatan mutu
berbasis sekolah (MPMBS) dapat diartikan sebagai model manajemen yang
memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan
keputusan partisipatif yang melibatkan secara langsung semua warga
sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan, orang tua siswa, dan
masyarakat) untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan
pendidikan nasional.
Lebih lanjut istilah manajemen sekolah
acapkali disandingkan dengan istilah administrasi sekolah. Berkaitan
dengan itu, terdapat tiga pandangan berbeda; pertama, mengartikan
administrasi lebih luas dari pada manajemen (manajemen merupakan inti
dari administrasi); kedua, melihat manajemen lebih luas dari pada
administrasi (administrasi merupakan inti dari manajemen); dan ketiga
yang menganggap bahwa manajemen identik dengan administrasi.
Dalam hal ini, istilah manajemen
diartikan sama dengan istilah administrasi atau pengelolaan, yaitu
segala usaha bersama untuk mendayagunakan sumber-sumber, baik personal
maupun material, secara efektif dan efisien guna menunjang tercapainya
tujuan pendidikan di sekolah secara optimal. Pengertian manajemen
menurut Hasibuan merupakan ilmu dan seni mengatur proses pemanfaatan
sumber daya manusia dan sumber-sumber lainnya secara efektif dan efisien
untuk mencapai tujuan tertentu. Definisi manajemen tersebut menjelaskan
pada kita bahwa untuk mencapai tujuan tertentu, maka kita tidak
bergerak sendiri, tetapi membutuhkan orang lain untuk bekerja sama
dengan baik.
Berdasarkan fungsi pokoknya, istilah
manajemen dan administrasi mempunyai fungsi yang sama, yaitu:
merencanakan (planning), mengorganisasikan (organizing), mengarahkan
(directing), mengkoordinasikan (coordinating), mengawasi (controlling),
dan mengevaluasi (evaluation).
Menurut Gaffar (1989) mengemukakan bahwa
manajemen pendidikan mengandung arti sebagai suatu proses kerja sama
yang sistematik, sitemik, dan komprehensif dalam rangka mewujudkan
tujuan pendidikan nasional.[4]
2) Tujuan MBS
- Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam megelola dan memberdayakan sumber daya yang tersedia;
- Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama;
- Meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua, masyarakat, dan pemerintah tentang mutu sekolahnya; dan
- Meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai.
Kewenangan yang bertumpu pada sekolah
merupakan inti dari MBS yang dipandang memiliki tingkat efektivitas
tinggi serta memberikan beberapa keuntungan berikut:
- Kebijaksanaan dan kewenangan sekolah membawa pengaruh langsung kepada peserta didik, orang tua, dan guru.
- Bertujuan bagaimana memanfaatkan sumber daya lokal.
- Efektif dalam melakukan pembinaan peserta didik seperti kehadiran, hasil belajar, tingkat pengulangan, tingkat putus sekolah, moral guru, dan iklim sekolah.
- Adanya perhatian bersama untuk mengambil keputusan, memberdayakan guru, manajemen sekolah, rancangan ulang sekolah, dan perubahan perencanaan.
3) Manfaat MBS
MBS memberikan beberapa manfaat diantaranya
- Dengan kondisi setempat, sekolah dapat meningkatkan kesejahteraan guru sehingga dapat lebih berkonsentrasi pada tugasnya;
- Keleluasaan dalam mengelola sumberdaya dan dalam menyertakan masyarakat untuk berpartisipasi, mendorong profesionalisme kepala sekolah, dalam peranannya sebagai manajer maupun pemimpin sekolah;
- Guru didorong untuk berinovasi;
- Rasa tanggap sekolah terhadap kebutuhan setempat meningkat dan menjamin layanan pendidikan sesuai dengan tuntutan masyarakat sekolah dan peserta didik.
- B. Penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Sejak beberapa waktu terakhir, kita
dikenalkan dengan pendekatan “baru” dalam manajemen sekolah yang diacu
sebagai manajemen berbasis sekolah (school based management) atau
disingkat MBS. Di Amerika Serikat, pendekatan ini sebenarnya telah
berkembang cukup lama. Pada 1988 American Association of School
Administrators, National Association of Elementary School Principals,
and National Association of Secondary School Principals, menerbitkan
dokumen berjudul school based management, a strategy for better
learning. Munculnya gagasan ini dipicu oleh ketidakpuasan atau kegerahan
para pengelola pendidikan pada level operasional atas keterbatasan
kewenangan yang mereka miliki untuk dapat mengelola sekolah secara
mandiri. Umumnya dipandang bahwa para kepala sekolah merasa tak berdaya
karena terperangkap dalam ketergantungan berlebihan terhadap konteks
pendidikan. Akibatnya, peran utama mereka sebagai pemimpin pendidikan
semakin dikerdilkan dengan rutinitas urusan birokrasi yang menumpulkan
kreativitas berinovasi.
Di Indonesia, gagasan penerapan
pendekatan ini muncul belakangan sejalan dengan pelaksanaan otonomi
daerah sebagai paradigma baru dalam pengoperasian sekolah. Selama ini,
sekolah hanyalah kepanjangan tangan birokrasi pemerintah pusat untuk
menyelenggarakan urusan politik pendidikan. Para pengelola sekolah sama
sekali tidak memiliki banyak kelonggaran untuk mengoperasikan sekolahnya
secara mandiri. Semua kebijakan tentang penyelenggaran pendidikan di
sekolah umumnya diadakan di tingkat pemerintah pusat atau sebagian di
instansi vertikal dan sekolah hanya menerima apa adanya.
Apa saja muatan kurikulum pendidikan di
sekolah adalah urusan pusat, kepala sekolah dan guru harus
melaksanakannya sesuai dengan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk
teknisnya. Anggaran pendidikan mengalir dari pusat ke daerah menelusuri
saluran birokrasi dengan begitu banyak simpul yang masing-masing
menginginkan bagian. Tidak heran jika nilai akhir yang diterima di
tingkat paling operasional telah menyusut lebih dari separuhnya.
Kita khawatir, jangan-jangan selama ini
lebih dari separuh dana pendidikan sebenarnya dipakai untuk hal-hal yang
sama sekali tidak atau kurang berurusan dengan proses pembelajaran di
level yang paling operasional, sekolah.
MBS adalah upaya serius yang rumit, yang
memunculkan berbagai isu kebijakan dan melibatkan banyak lini kewenangan
dalam pengambilan keputusan serta tanggung jawab dan akuntabilitas atas
konsekuensi keputusan yang diambil. Oleh sebab itu, semua pihak yang
terlibat perlu memahami benar pengertian MBS, manfaat, masalah-masalah
dalam penerapannya, dan yang terpenting adalah pengaruhnya terhadap
prestasi belajar murid.[5]
Manajemen berbasis sekolah dapat bermakna
adalah desentralisasi yang sistematis pada otoritas dan tanggung jawab
tingkat sekolah untuk membuat keputusan atas masalah signifikan terkait
penyelenggaraan sekolah dalam kerangka kerja yang ditetapkan oleh pusat
terkait tujuan, kebijakan, kurikulum, standar, dan akuntabilitas.
Tampaknya pemerintah dari setiap negara ingin melihat adanya
transformasi sekolah. Transformasi diperoleh ketika perubahan yang
signifikan, sistematik, dan berlanjut terjadi, mengakibatkan hasil
belajar siswa yang meningkat di segala keadaan (setting), dengan
demikian memberikan kontribusi pada kesejahteraan ekonomi dan sosial
suatu negara. Manajemen berbasis sekolah selalu diusulkan sebagai satu
strategi untuk mencapai transformasi sekolah.
Manajemen berbasis sekolah telah
dilembagakan di tempat-tempat seperti Inggris, dimana lebih dari 25.000
sekolah telah mempraktikkannya lebih dari satu dekade. Atau seperti
Selandia Baru atau Victoria, Australia atau di beberapa sistem sekolah
yang besar) di Kanada dan Amerika Serikat, dimana terdapat pengalaman
sejenis selama lebih dari satu dekade. Praktik manajemen berbasis
sekolah di tempat-tempat ini tampaknya tidak dapat dilacak mundur. Satu
indikasi skala dan lingkup minat terhadap manajemen berbasis sekolah
diagendakan pada Pertemuan Menteri-menteri Pendidikan dari Negara APEC
di Chili pada April 2004. APEC (Asia Pacific Economic Cooperation)
merupakan satu jejaring 21 negara yang mengandung sepertiga dari
populasi dunia. Tema dari pertemuan adalah “mutu dalam pendidikan” dan
tata kelola merupakan satu dari empat sub tema. Perhatian khusus
diarahkan pada desentralisasi. Para menteri sangat menyarankan (endorse)
manajemen berbasis sekolah sebagai satu strategi dalam reformasi
pendidikan, tatapi juga menyetujui aspek-aspek sentralisasi, seperti
kerangka kerja bagi akuntabilitas. Mereka mengakui bahwa pengaturannya
akan bervariasi di masing-masing negara, yang merefleksikan keunikan
tiap-tiap setting.[6]
Manajemen berbasis sekolah memiliki
banyak bayangan makna. Ia telah diimplementasikan dengan cara yang
berbeda dan untuk tujuan berbeda dan pada laju yang berbeda di tempat
yang berbeda. Bahkan konsep yang lebih mendasar dari “sekolah” dan
“manajemen” adalah berbeda, seperti berbedanya budaya dan nilai yang
melandasi upaya-upaya pembuat kebijakan dan praktisi. Akan tetapi,
alasan yang sama di seluruh tempat dimana manajemen berbasis sekolah
diimplementasikan adalah bahwa adanya peningkatan otoritas dan tanggung
jawab di tingkat sekolah, tetapi masih dalam kerangka kerja yang
ditetapkan di pusat untuk memastikan bahwa satu makna sistem
terpelihara. Satu implikasi penting adalah bahwa para pemimpin sekolah
harus memiliki kapasitas membuat keputusan terhadap hal-hal signifikan
terkait operasi sekolah dan mengakui dan mengambil unsur-unsur yang
ditetapkan dalam kerangka kerja pusat yang berlaku di seluruh sekolah.
Sejak awal, pemerintah (pusat dan daerah)
haruslah suportif atas gagasan MBS. Mereka harus mempercayai kepala
sekolah dan dewan sekolah untuk menentukan cara mencapai sasaran
pendidikan di masing-masing sekolah. Penting artinya memiliki
kesepakatan tertulis yang memuat secara rinci peran dan tanggung jawab
dewan pendidikan daerah, dinas pendidikan daerah, kepala sekolah, dan
dewan sekolah. Kesepakatan itu harus dengan jelas menyatakan standar
yang akan dipakai sebagai dasar penilaian akuntabilitas sekolah. Setiap
sekolah perlu menyusun laporan kinerja tahunan yang mencakup “seberapa
baik kinerja sekolah dalam upayanya mencapai tujuan dan sasaran,
bagaimana sekolah menggunakan sumber dayanya, dan apa rencana
selanjutnya.”
Perlu diadakan pelatihan dalam
bidang-bidang seperti dinamika kelompok, pemecahan masalah dan
pengambilan keputusan, penanganan konflik, teknik presentasi, manajemen
stress, serta komunikasi antarpribadi dalam kelompok. Pelatihan ini
ditujukan bagi semua pihak yang terlibat di sekolah dan anggota
masyarakat, khususnya pada tahap awal penerapan MBS. Untuk memenuhi
tantangan pekerjaan, kepala sekolah kemungkinan besar memerlukan
tambahan pelatihan kepemimpinan. Dengan kata lain, penerapan MBS
mensyaratkan yang berikut :
- MBS harus mendapat dukungan staf sekolah.
- MBS lebih mungkin berhasil jika diterapkan secara bertahap.
- Staf sekolah dan kantor dinas harus memperoleh pelatihan penerapannya, pada saat yang sama juga harus belajar menyesuaikan diri dengan peran dan saluran komunikasi yang baru.
- Harus disediakan dukungan anggaran untuk pelatihan dan penyediaan waktu bagi staf untuk bertemu secara teratur.
- Pemerintah pusat dan daerah harus mendelegasikan wewenang kepada kepala sekolah, dan kepala sekolah selanjutnya berbagi kewenangan ini dengan para guru dan orang tua murid.
Beberapa hambatan yang mungkin dihadapi pihak-pihak berkepentingan dalam penerapan MBS adalah sebagai berikut :
- Tidak Berminat Untuk Terlibat
Sebagian orang tidak menginginkan kerja
tambahan selain pekerjaan yang sekarang mereka lakukan. Mereka tidak
berminat untuk ikut serta dalam kegiatan yang menurut mereka hanya
menambah beban. Anggota dewan sekolah harus lebih banyak menggunakan
waktunya dalam hal-hal yang menyangkut perencanaan dan anggaran.
Akibatnya kepala sekolah dan guru tidak memiliki banyak waktu lagi yang
tersisa untuk memikirkan aspek-aspek lain dari pekerjaan mereka. Tidak
semua guru akan berminat dalam proses penyusunan anggaran atau tidak
ingin menyediakan waktunya untuk urusan itu.
- Tidak Efisien
Pengambilan keputusan yang dilakukan
secara partisipatif adakalanya menimbulkan frustrasi dan seringkali
lebih lamban dibandingkan dengan cara-cara yang otokratis. Para anggota
dewan sekolah harus dapat bekerja sama dan memusatkan perhatian pada
tugas, bukan pada hal-hal lain di luar itu.
- Pikiran Kelompok
Setelah beberapa saat bersama, para
anggota dewan sekolah kemungkinan besar akan semakin kohesif. Di satu
sisi hal ini berdampak positif karena mereka akan saling mendukung satu
sama lain. Di sisi lain, kohesivitas itu menyebabkan anggota terlalu
kompromis hanya karena tidak merasa enak berlainan pendapat dengan
anggota lainnya. Pada saat inilah dewan sekolah mulai terjangkit
“pikiran kelompok.” Ini berbahaya karena keputusan yang diambil
kemungkinan besar tidak lagi realistis.
- Memerlukan Pelatihan
Pihak-pihak yang berkepentingan
kemungkinan besar sama sekali tidak atau belum berpengalaman menerapkan
model yang rumit dan partisipatif ini. Mereka kemungkinan besar tidak
memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang hakikat MBS sebenarnya dan
bagaimana cara kerjanya, pengambilan keputusan, komunikasi, dan
sebagainya.
- Kebingungan Atas Peran dan Tanggung Jawab Baru
Pihak-pihak yang terlibat kemungkinan
besar telah sangat terkondisi dengan iklim kerja yang selama ini mereka
geluti. Penerapan MBS mengubah peran dan tanggung jawab pihak-pihak yang
berkepentingan. Perubahan yang mendadak kemungkinan besar akan
menimbulkan kejutan dan kebingungan sehingga mereka ragu untuk memikul
tanggung jawab pengambilan keputusan.
- Kesulitan Koordinasi
Setiap penerapan model yang rumit dan
mencakup kegiatan yang beragam mengharuskan adanya koordinasi yang
efektif dan efisien. Tanpa itu, kegiatan yang beragam akan berjalan
sendiri ke tujuannya masing-masing yang kemungkinan besar sama sekali
menjauh dari tujuan sekolah.
Apabila pihak-pihak yang berkepentingan
telah dilibatkan sejak awal, mereka dapat memastikan bahwa setiap
hambatan telah ditangani sebelum penerapan MBS. Dua unsur penting adalah
pelatihan yang cukup tentang MBS dan klarifikasi peran dan tanggung
jawab serta hasil yang diharapkan kepada semua pihak yang
berkepentingan. Selain itu, semua yang terlibat harus memahami apa saja
tanggung jawab pengambilan keputusan yang dapat dibagi, oleh siapa, dan
pada level mana dalam organisasi.
Anggota masyarakat sekolah harus
menyadari bahwa adakalanya harapan yang dibebankan kepada sekolah
terlalu tinggi. Pengalaman penerapannya di tempat lain menunjukkan bahwa
daerah yang paling berhasil menerapkan MBS telah memfokuskan harapan
mereka pada dua maslahat: meningkatkan keterlibatan dalam pengambilan
keputusan dan menghasilkan keputusan lebih baik.
- C. Strategi Peningkatan Mutu Pendidikan Melalui Penerapan MBS
Konsep MBS merupakan kebijakan baru yang
sejalan dengan paradigma desentraliasi dalam pemerintahan. Strategi apa
yang diharapkan agar penerapan MBS dapat benar-benar meningkatkan mutu
pendidikan. Salah satu strategi adalah menciptakan prakondisi yang
kondusif untuk dapat menerapkan MBS, yakni :
- Peningkatan kapasitas dan komitmen seluruh warga sekolah, termasuk masyarakat dan orangtua siswa. Upaya untuk memperkuat peran kepala sekolah harus menjadi kebijakan yang mengiringi penerapan kebijakan MBS. ”An essential point is that schools and teachers will need capacity building if school-based management is to work”. Demikian De grouwe menegaskan.
- Membangun budaya sekolah (school culture) yang demokratis, transparan, dan akuntabel. Termasuk membiasakan sekolah untuk membuat laporan pertanggungjawaban kepada masyarakat. Model memajangkan RAPBS di papan pengumuman sekolah yang dilakukan oleh Managing Basic Education (MBE) merupakan tahap awal yang sangat positif. Juga membuat laporan secara insidental berupa booklet, leaflet, atau poster tentang rencana kegiatan sekolah. Alangkah serasinya jika kepala sekolah dan ketua Komite Sekolah dapat tampil bersama dalam media tersebut.
- Pemerintah pusat lebih memainkan peran monitoring dan evaluasi. Dengan kata lain, pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu melakukan kegiatan bersama dalam rangka monitoring dan evaluasi pelaksanaan MBS di sekolah, termasuk pelaksanaan block grant yang diterima sekolah.
- Mengembangkan model program pemberdayaan sekolah. Bukan hanya sekedar melakukan pelatihan MBS, yang lebih banyak dipenuhi dengan pemberian informasi kepada sekolah. Model pemberdayaan sekolah berupa pendampingan atau fasilitasi dinilai lebih memberikan hasil yang lebih nyata dibandingkan dengan pola-pola lama berupa penataran MBS.[7]
Kepemimpinan kepala sekolah yang efektif dalam MBS dapat dilihat berdasarkan kriteria berikut:
- Mampu memberdayakan guru-guru untuk melaksanakan proses pembelajaran dengan baik, lancar, dan produktif.
- Dapat menyelesaikan tugas dan pekerjaan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan.
- Mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan masyarakat sehingga dapat melibatkan mereka secara aktif dalam rangka mewujudkan tujuan sekolah dan pendidikan.
- Berhasil menerapkan prinsip kepemimpinan yang sesuai dengan tingkat kedewasaan guru dan pegawai lain disekolah.
- Bekerja dengan tim manajemen
- Berhasil mewujudkan tujuan sekolah secara produktif sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
Manajemen peningkatan mutu sekolah
adalah suatu metode peningkatan mutu yang bertumpu pada sekolah itu
sendiri, mengaplikasikan sekumpulan teknik, mendasarkan pada
ketersediaan data kuantitatif & kualitatif, dan pemberdayaan semua
komponen sekolah untuk secara berkesinambungan meningkatkan kapasitas
dan kemampuan organisasi sekolah guna memenuhi kebutuhan peserta didik
dan masyarakat. Dalam Peningkatan Mutu yang selanjutnya disingtkat MPM,
terkandung upaya a) mengendalikan proses yang berlangsung di sekolah
baik kurikuler maupun administrasi, b) melibatkan proses diagnose dan
proses tindakan untuk menindak lanjuti diagnose, c) memerlukan
partisipasi semua fihak : Kepala sekolah, guru, staf administrasi, orang
tua, siswa dan pakar.
2. Prinsip-Prinsip Manajemen Peningkatan Mutu Sekolah
Berdasarkan pengertian di atas dapat difahami bahwa Manajemen Peningkatan Mutu memiliki prinsip, diantaranya:
- Peningkatan mutu harus dilaksanakan di sekolah.
- Peningkatan mutu hanya dapat dilaksanakan dengan adanya kepemimpinan yang baik
- Peningkatan mutu harus didasarkan pada data dan fakta baik bersifat kualitatif maupun kuantitatif
- Peningkatan mutu harus memberdayakan dan melibatkan semua unsur yang ada di sekolah
- Peningkatan mutu memiliki tujuan bahwa sekolah dapat memberikan kepuasan kepada siswa, orang tua dan masyarakat. (Hand out, pelatihan calon Kepala sekolah: 2000)
3. Penyusunan Program Manajemen Peningkatan Mutu Sekolah
Adapun penyusunan program peningkatan mutu dengan mengaplikasikan empat teknik : a) school review, b) benchmarking, c) quality assurance, dan d) quality control. Berdasarkan Panduan Manajemen Sekolah (2000:200-202) dijelaskan sebagai berikut:
a. School Review
Suatu proses dimana seluruh
komponen sekolah bekerja sama khususnya dengan orang tua dan tenaga
profesional (ahli) untuk mengevaluasi dan menilai efektivitas sekolah
serta mutu lulusan.
School review dilakukan untuk menjawab pertanyaan berikut :
- Apakah yang dicapai sekolah sudah sesuai dengan harapan orang tua siswa dan siswa sendiri?
- Bagaimana prestasi siswa ?
- Faktor apakah yang menghambat upaya untuk meningkatkan mutu ?
- Apakah faktor-faktor pendukung yang dimiliki sekolah ?
School review akan menghasilkan
rumusan tentang kelemahan-kelemahan, kelebihan-kelebihan dan prestasi
siswa, serta rekomendasi untuk pengembangan program tahun mendatang.
b. Benchmarking
Suatu kegiatan untuk menetapkan standar dan target yang akan dicapai dalam suatu periode tertentu. Benchmarking dapat diaplikasikan untuk individu, kelompok ataupun lembaga. Tiga pertanyaan mendasar yang akan dijawab oleh benchmarking adalah:
1) Seberapa baik kondisi kita?
2) Harus menjadi seberapa baik?
3) Bagaimana untuk mencapai yang baik tersebut?
Langkah-langkah yang dilakukan adalah:
1) Tentukan fokus
2) Tentukan aspek/variabel atau indikator
3) Tentukan standar
4) Tentukan gap (kesenjangan) yang terjadi.
5) Bandingkan standar dengan kita
6) Rencanakan target untuk mencapai standar
7) Rumuskan cara-cara program untuk mencapai target.
c. Quality Assurance
Suatu teknik untuk menentukan bahwa
proses pendidikan telah berlangsung sebagaimana seharusnya. Dengan
teknik ini akan dapat dideteksi adanya penyimpangan yang terjadi pada
proses. Teknik menekankan pada monitoring yang berkesinambungan dan
melembaga menjadi sub sistem sekolah.
d. Quality Control
Suatu sistem untuk mendeteksi terjadinya penyimpangan kualitas out mput yang tidak sesuai dengan standar Quality control memerlukan indikator kualitas yang jelas dan dan pasti sehingga dapat ditentukan penyimpangan kualitas yang terjadi.
2.2. Perencanaan Strategi Mutu
Strategi adalah rencana yang
menyangkut hal-hal yang pervasive, vital, dan atau secara terus menerus
penting dalam organisasi (Sharplin dalam Sonhadji, 2003). Perencanaan
ini biasanya bersifat luas dan jangka panjang. Perencanaan strategi
disebut juga formulasi strategi.[8]
Perencanaan strategi dalam hal ini terdapat 5 langkah pokok, yaitu: (1) perumusan misi (mission determination), (2) asesmen lingkungan eksternal (environmental external assessment), (3) asesmen organisasi (organizational assessment), (4) perumusan tujuan khusus (objective setting), dan (5) penentuan strategi (strategy setting).
BAB III
KESIMPULAN
Satu cara yang berguna dalam menyimpulkan
adalah melihat tantangan sebagai satu cara menciptakan suatu jenis
sistem pendidikan baru yang sesuai abad ke-21. Kita membutuhkan
sistem-sistem baru yang terus-menerus mampu merekonfigurasi kembali
dirinya untuk menciptakan sumber nilai publik baru. Ini berarti secara
interaktif menghubungkan lapisan-lapisan dan fungsi tata kelola yang
berbeda, bukan mencari cetak biru (blueprint) yang statis yang membatasi berat relatifnya.
Pertanyaan mendasar bukannya bagaimana
kita secara tepat dapat mencapai keseimbangan yang tepat antara
lapisan-lapisan pusat, regional, dan lokal atau antara sektor-sektor
berbeda: publik, swasta, dan sukarela. Justeru, kita perlu bertanya
Bagaimana suatu sistem secara keseluruhan menjadi lebih dari sekedar
jumlah dari bagian-bagiannya?.
Secara sederhana dikatakan, manajemen
berbasis sekolah bukanlah “senjata ampuh” yang akan menghantar pada
harapan reformasi sekolah. Bila diimplementasikan dengan kondisi yg
benar, ia menjadi satu dari sekian strategi yang diterapkan dalam
pembaharuan terus-menerus dengan strategi yang melibatkan pemerintah,
penyelenggara, dewan manajemen sekolah dalam satu sistem sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
Depdiknas, 2001. Konsep dan Pelaksanaan dalam Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Jakarta: Dikmenum.
Depdiknas, 2001. Panduan Monitoring dan Evaluasi dalam Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Jakarta: Dikmenum.
Hasibuan, Malayu. 2003. Manajemen Dasar, Pengertian dan Masalah. Jakarta: Bumi Aksara.
Mansoer, Hamdan. 1989. Pengantar Manajemen. Jakarta: P2LPTK.
Mulyasa, E. 2002. Manajemen Berbasis Sekolah Konsep, Strategi dan Implementasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Suprihatin dkk, 2004. Manajemen Sekolah. Semarang: UPT UNNES Press.
Sonhadji, Ahmad. 2003. Modul Bahan-Bahan Kuliah Manajemen Strategik. Universitas Negeri Malang
Nurkolis, 2003. Manajemen Berbasis sekolah Teori, Model dan Aplikasi. Jakarta: Grasindo.
[1] Depdiknas, Konsep dan Pelaksanaan dalam Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Jakarta: Dikmenum. 2001. Hal. 15
[2] Mulyasa, E. Manajemen Berbasis Sekolah Konsep, Strategi dan Implementasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2002. Hal.23
[3] Nurkolis. Manajemen Berbasis sekolah Teori, Model dan Aplikasi. Jakarta: Grasindo. 2003. Hal. 25
[4] Mansoer, Hamdan. Pengantar Manajemen. Jakarta: P2LPTK. 1989. Hal. 57
[5] Ibid
[6] http://kreativitasdircom.wordpress.com/2013/02/16/makalah-mbs-penerapan-manajemen-berbasis-sekolah-mbs-dalam-rangka-peningkatan-mutu-pendidikan/
[7] Depdiknas. Panduan Monitoring dan Evaluasi dalam Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Jakarta: Dikmenum. 2001. Hal. 43
[8] Sonhadji, Ahmad. Modul Bahan-Bahan Kuliah Manajemen Strategik. Universitas Negeri Malang. 2003. Hal : 33
No comments:
Post a Comment