Oleh Masnur Muslich
Fakultas Sastra Unversitas Negeri Malang
Dalam
premis telah disebutkan bahwa bunyi-bunyi lingual condong berubah
karena lingkungannya. Dengan demikian, perubahan bunyi tersebut bisa
berdampak pada dua kemungkinan. Apabila perubahan itu tidak sampai
membedakan makna atau mengubah identitas fonem, maka bunyi-bunyi
tersebut masih merupakan alofon atau varian bunyi dari fonem yang sama.
Dengan kata lain. perubahan itu masih dalam lingkup perubahan fonetis.
Tetapi, apabila perubahan bunyi itu sudah sampai berdampak pada
pembedaan makna atau mengubah identitas fonem, maka bunyi-bunyi tersebut
merupakan alofon dari fonem yang berbeda. Dengan kata lain, perubahan
itu disebut sebagai perubahan fonemis.
Jenis-jenis perubahan bunyi
tersebut berupa asimilasi, disimilasi, modifikasi vokal, netralisasi,
zeroisasi, metatesis, diftongisasi, monoftongisasi, dan anaptiksis,
sebagaimana uraian berikut.
A.Asimilasi
Asimilasi adalah perubahan bunyi dari dua bunyi yang tidak sama menjadi
bunyi yang sama atau yang hampir sama. Hal ini terjadi karena
bunyi-bunyi bahasa itu diucapkan secara berurutan sehingga berpotensi
untuk saling mempengaruhi atau dipengaruhi.
Perhatikan contoh berikut.
1.Kata
bahasa Inggris top diucapkan [tOp’] dengan [t] apiko-dental. Tetapi,
setelah mendapatkan [s] lamino-palatal pada stop, kata tersebut
diucapkan [stOp’] dengan [t] juga lamino-palatal. Dengan demikian dapat
disim-pulkan bahwa [t] pada [stOp’] disesuaikan atau diasimilaskan
artikulasinya dengan [s] yang mendahuluinya sehingga sama-sama
lamino-palatal. Jika bunyi yang diasimilasikan terletak sesudah bunyi
yang mengasimilasikan disebut asimilasi progresif.
2.Kata bahasa
Belanda zak ‘kantong’ diucapkan [zak’] dengan [k] velar tidak bersuara,
dan doek ‘kain’ diucapkan [duk’] dengan [d] apiko-dental bersuara.
Ketika kedua kata itu digabung, sehingga menjadi zakdoek ‘sapu tangan’,
diucapkan [zagduk’]. Bunyi [k] pada zak berubah menjadi [g] velar
bersuara karena dipengaruhi oleh bunyi [d] yang mengikutinya. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa [k] pada [zak’] disesuaikan atau
diasimilasikan artikulasi dengan bunyi [d] yang mengikutinya sehingga
sama-sama bersuara. Jika bunyi yang diasimilasikan terletak sebelum
bunyi yang mengasimilasikan disebut asimilasi regresif.
3.Kata bahasa
Batak Toba holan ho ‘hanya kau’ diucapkan [holakko], suan hon diucapkan
[suatton]. Bunyi [n] pada holan dan bunyi [h] pada ho saling
disesuaikan atau diasimilasikan menjadi [k], sedangkan [n] pada suan dan
[h] pada hon saling disesuaikan atau diasimilasikan menjadi [t]. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa kedua bunyi tersebut, yaitu [n] dan
[h], [n] dan [h] saling disesuaikan. Jika kedua bunyi saling
mengasimilasikan sehingga menimbulkan bunyi baru disebut asimilasi
resiprokal.
Dilihat dari lingkup perubahannya, asimilasi pada contoh 1
tergolong asimilasi fonetis karena perubahannya masih dalam lingkup
alofon dari satu fonem, yaitu fonem /t/. Asimilasi pada contoh 2 juga
tergolong asimilasi fonetis karena perubahan dari [k’] ke [g’] dalam
posisi koda masih tergolong alofon dari fonem yang sama. Sedangkan
asimilasi pada pada contoh 3 tergolong asimilasi fonemis karena
perubahan dari [n] ke [k] dan [h] ke [k] (pada holan ho > [holakko]),
serta perubahan dari [n] ke [t] dan [h] ke [t] (pada suan hon >
[su-atton]) sudah dalam lingkup antarfonem. Bunyi [n] merupakan alofon
dari fo-nem /n/, bunyi [k] merupakan alofon dari fonem /k/. Begitu juga,
bunyi [h] merupakan alofon dari fonem /h/, dan bunyi [t] merupakan
alofon dari fonem /t/.
Dalam bahasa Indonesia, asimilasi fonetis
terjadi pada bunyi nasal pada kata tentang dan tendang. Bunyi nasal
pada tentang diucapkan apiko-dental karena bunyi yang mengikutinya,
yaitu [t], juga apiko-dental. Bunyi nasal pada tendang diucapkan
apiko-alveolar karena bunyi yang mengikutinya, yaitu [d], juga
apiko-alveolar. Perubahan bunyi nasal tersebut masih dalam lingkup
alofon dari fonem yang yang sama.
Asimilasi fonemis terlihat pada
contoh berikut. Kalimat bahasa Belanda Ik eet vis ‘saya makan ikan’,
kata vis – yang biasa diucapkan [vis] – pada kalimat tersebut diucapkan
[fis] dengan frikatif labio-dental tidak bersuara karena dipengaruhi
oleh kata eet [i:t’] yang berakhir dengan bunyi stop apiko-alveolar
tidak bersuara. Perubahan atau penyesuaian dari [v] ke [f] merupakan
lingkup dua fonem yang berbeda karena bunyi [v] merupakan alofon dari
fonem /v/, dan bu-nyi [f] meru[akan alofon dari fonem /f/.
B.Disimilasi
Kebalikan
dari asimilasi, disimilasi adalah perubahan bunyi dari dua bunyi yang
sama atau mirip menjadi bunyi yang tidak sama atau berbeda.
Perhatikan contoh berikut!
1.Kata
bahasa Indonesia belajar [bəlajar] berasal dari penggabungan prefiks
ber [bər] dan bentuk dasar ajar [ajar]. Mestinya, kalau tidak ada
perubahan menjadi berajar [bərajar] Tetapi, karena ada dua bunyi [r],
maka [r] yang pertama diperbedakan atau didisimilasikan menjadi [l]
sehingga menjadi [bəlajar]. Karena perubahan tersebut sudah menembus
batas fonem, yaitu [r] merupakan alofon dari fonem /r/ dan [l] merupakan
alofon dari fonem /l/, maka disebut disimilasi fonemis.
2.Secara
diakronis, kata sarjana [sarjana] berasal dari bahasa Sanskerta sajjana
[sajjana]. Perubahan itu terjadi karena adanya bunyi [j] ganda. Bunyi
[j] yang pertama diubah menjadi bunyi [r]: [sajjana] > [sarjana].
Ka-rena perubahan itu sudah menembus batas fonem, yaitu [j] merupakan
alofon dari fonem /j/ dan [r] merupakan alofon dari fonem /r/, maka
perubahan itu disebut disimilasi fonemis.
3.Kata sayur-mayur [sayUr
mayUr] adalah hasil proses morfologis peng-ulangan bentuk dasar sayur
[sayUr]. Setelah diulang, [s] pada bentuk dasar [sayUr] mengalami
perubahan menjadi [m] sehingga menjadi [sayUr mayUr]. Karena perubahan
itu sudah menembus batas fonem, yaitu [s] merupakan alofon dari fonem
/j/ dan [m] merupakan alofon dari fonem /m/, maka perubahan itu juga
disebut disimilasi fonemis.
C.Modifikasi Vokal
Modifikasi
vokal adalah perubahan bunyi vokal sebagai akibat dari pengaruh bunyi
lain yang mengikutinya. Perubahan ini sebenarnya bisa dimasukkan ke
dalam peristiwa asimilasi, tetapi karena kasus ini tergolong khas, maka
perlu disendirikan.
Perhatkan contoh berikut!
1.Kata balik
diucapkan [balī?], vokal i diucapkan [ī] rendah. Tetapi ketika
mendapatkan sufiks –an, sehingga menjadi baikan, bunyi [ī] berubah
menjadi [i] tinggi: [balikan]. Perubahan ini akibat bunyi yang
mengikutinya. Pada kata balik, bunyi yang mengikutinya adalah glotal
stop atau hamzah [?], sedangkan pada kata balikan, bunyi yang
mengikutinya adalah dorso-velar [k]. Karena perubahan dari [ī] ke [I]
masih dalam lingkup alofon dari satu fonem, maka perubahan itu disebut
modifikasi vokal fonetis.
Sebagai cacatan, perubahan itu bisa juga
karena perbedaan struktur silaba. Pada bunyi [ī], ia sebagai nuklus
silaba yang diikuti koda (lik pada ba-lik), sedangkan pada bunyi [i], ia
sebagai nuklus silaba yang tidak diikuti koda (li pada ba-li-kan).
2.Kata
toko, koko, oto masing-masing diucapkan [toko], [koko], [oto].
Sementara itu, kata tokoh, kokoh, otot diucapkan [tOkOh], [kOkOh],
[OtOt’]. Bunyi vokal [O] pada silaba pertama pada kata kelompok dua
dipengaruhi oleh bunyi vokal pada silaba yang mengikutinya. Karena vokal
pada silaba kedua adalah [O], maka pada silaba pertama disesuaikan
menjadi [O] juga. Karena perubahan ini masih dalam lingkup alofon dari
satu fonem, yaitu fonem /o/, maka perubahan itu disebut modifikasi vokal
fonetis. Pola pikir ini juga bisa diterapkan ada bunyi [o] pada
kata-kata kelompok satu. (Coba jelaskan!)
Kalau diamati, perubahan
vokal pada contoh 1 terjadi dari vokal rendah ke vokal yang lebih
tinggi. Modifikasi atau perubahan vokal dari rendah ke tinggi oleh para
linguis disebut umlaut. Ada juga yang menyebut metafoni. Sementara itu,
perubahan vokal pada contoh 2 terjadi karena pengaruh dari vokal yang
lain pada silaba yang mengikutinya. Perubahan vokal jenis ini biasa
disebut harmoni vokal atau keselarasan vokal.
Selain kedua jenis
perubahan vokal tersebut, ada juga perubahan vokal yang disebut ablaut
(Ada juga yang menyebut apofoni atau gradasi vokal). Perubahan vokal
jenis ini bukan karena pengaruh struktur silaba atau bunyi vokal yang
lain pada silaba yang mengikutinya, tetapi lebih terkait dengan unsur
morfologis. Misalnya, perubahan vokal kata bahasa Inggris dari sing
[sīŋ] ‘menyanyi’ menjadi sang [sєŋ], sung [sαŋ]. Perubahan vokal jenis
ini juga bisa disebut modifikasi internal.
D. Netralisasi
Netralisasi
adalah perubahan bunyi fonemis sebagai akibat pengaruh lingkungan.
Untuk menjelaskan kasus ini bisa dicermati ilustrasi berikut. Dengan
cara pasangan minimal [baraŋ] ‘barang’– [paraŋ] ‘parang’ bisa
disimpulkan bahwa dalam bahasa Indonesia ada fonem /b/ dan /p/. Tetapi
dalam kondisi tertentu, fungsi pembeda antara /b/ dan /p/ bisa batal –
setidak-tidaknya bermasalah – karena dijumpai bunyi yang sama. Misalnya,
fonem /b/ pada silaba akhir kata adab dan sebab diucapkan [p’]: [adap]
dan [səbap’], yang persis sama dengan pengucapan fonem /p/ pada atap dan
usap: [atap’] dan [usap’]. Me-ngapa terjadi demikian? Karena konsonan
hambat-letup-bersuara [b] tidak mungkin terjadi pada posisi koda. Ketika
dinetralisasilkan menjadi hambat-tidak bersuara, yaitu [p’], sama
dengan realisasi yang biasa terdapat dalam fonem /p/.
Kalau begitu,
apakah kedua bunyi itu tidak merupakan alofon dari fonem yang sama?
Tidak! Sebab, dalam pasangan minimal telah terbukti bahwa terdapat fonem
/b/ dan /p/. Prinsip sekali fonem tetap fonem perlu diberlakukan. Kalau
toh ingin menyatukan, beberapa ahli fonologi mengusulkan konsep
arkifonem, yang anggotanya adalah fonem /b/ dan fonem /p/. Untuk
mewakili kedua fonem tersebut, nama arkifonemnya adalah /B/ (huruf b
kapital karena bunyi b yang paling sedikit dibatasi distribusinya).
E. Zeroisasi
Zeroisasi
adalah penghilangan bunyi fonemis sebagai akibat upaya penghematan atau
ekonomisasi pengucapan. Peristiwa ini biasa terjadi pada penuturan
bahasa-bahasa di dunia, termasuk bahasa Indonesia, asal saja tidak
mengganggu proses dan tujuan komunikasi. Peristiwa ini terus berkembang
karena secara diam-diam telah didukung dan disepakati oleh komunitas
penuturnya.
Dalam bahasa Indonesia sering dijumpai pemakaian kata
tak atau ndak untuk tidak, tiada untuk tidak ada, gimana untuk
bagaimana, tapi untuk tetapi. Padahal, penghilangan beberapa fonem
tersebut dianggap tidak baku oleh tatabahasa baku bahasa Indonesia.
Tetapi, karena demi kemudahan dan kehematan, gejala itu terus
berlangsung.
Dalam bahasa Inggris, zeroisasi ini sudah merupakan pola sehingga ‘bernilai sama’ dengan struktur lengkapnya. Misalnya:
- shall not disingkat shan’t
- will not disingkat won’t-
- is not disingkat isn’t
- are not disingkat aren’t
- it is atau it has disingkat it’s.
Zeroisasi dengan model penyingkatan ini biasa disebut kontraksi.
Apabila diklasifikasikan, zeroisasi ini paling tidak ada tiga jenis, yaitu aferesis, apokop, dan sinkop.
1.Aferesis adalah proses penghilangan atau penanggalan satu atau lebih fonem pada awal kata. Misalnya: tetapi menjadi tapi, peperment menjadi permen, upawasa menjadi puasa
2.Apokop adalah proses penghilangan atau penanggalan satu atau lebih fonem pada akhir kata. Misalnya: president menjadi presiden, pelangit menjadi pelangi, mpulaut menjadi pulau
3.Sinkop adalah proses penghilangan atau penanggalan satu atau lebih fonem pada tengah kata. Misalnya: baharu menjadi baru, dahulu menjadi dulu, utpatti menjadi upeti.
F.Metatesis
Metatesis
adalah perubahan urutan bunyi fonemis pada suatu kata sehingga menjadi
dua bentuk kata yang bersaing. Dalam bahasa Indonesia, kata-kata yang
mengalami metatesis ini tidak banyak. Hanya beberapa kata saja.
Misalnya: kerikil
menjadi kelikir, jalur menjadi lajur, brantas menjadi bantras
Metatesis ini juga bisa dilihat secara diakronis. Misalnya: lemari berasal dari bahasa Portugis almari, Rabu berasal dari bahasa Arab Arba. rebab berasal dari bahasa Arab arbab.
G.Diftongisasi
Diftongisasi
adalah perubahan bunyi vokal tunggal (monoftong) menjadi dua bunyi
vokal atau vokal rangkap (diftong) secara berurutan. Perubahan dari
vokal tunggal ke vokal rangkap ini masih diucapkan dalam satu puncak
kenya-ringan sehingga tetap dalam satu silaba.
Kata anggota [aŋgota]
diucapkan [aŋgauta], sentosa [səntosa] diucapkan [səntausa]. Perubahan
ini terjadi pada bunyi vokal tunggal [o] ke vokal rangkap [au], tetapi
tetap dalam pengucapan satu bunyi puncak. Hal ini terjadi karena adanya
upaya analogi penutur dalam rangka pemurnian bunyi pada kata tersebut.
Bahkan, dalam penulisannya pun disesuaikan dengan ucapannya, yaitu anggauta dan sentausa. Contoh lain:
- teladan [təladan] menjadi tauladan [tauladan]=> vokal [ə] menjadi [au]
- topan [tOpan] menjadi taufan[taufan] => vokal [O] menjadi [au]
H. Monoftongisasi
Kebalikan
dari diftongisasi adalah monoftongisasi, yaitu perubahan dua bunyi
vokal atau vokal rangkap (difftong) menjadi vokal tunggal (monoftong).
Peristiwa penunggalan vokal ini banyak terjadi dalam bahasa Indonesia
sebagai sikap pemudahan pengucapan terhadap bunyi-bunyi diftong.
Kata
ramai [ramai] diucapkan [rame], petai [pətai] diucapkan [pəte].
Perubahan ini terjadi pada bunyi vokal rangkap [ai] ke vokal tunggal
[e]. Penulisannya pun disesuaikan menjadi rame dan pete. Contoh lain:
- kalau [kalau] menjadi [kalo]
- danau [danau] menjadi [dano]
- satai [satai] menjadi [sate]
- damai [damai] menjadi [dame]
I.Anaptiksis
Anaptiksis
atau suara bakti adalah perubahan bunyi dengan jalan menambahkan bunyi
vokal tertentu di antara dua konsoanan untuk memperlancar ucapan. Bunyi
yang biasa ditambahkan adalah bunyi vokal lemah. Dalam bahasa Indonesia,
penambahan bunyi vokal lemah ini biasa terdapat dalam kluster.
Misalnya:
- putra menjadi putera
- putri menjadi puteri
- bahtra menjadi bahtera
- srigala menjadi serigala
- sloka menjadi seloka
Akibat
penambahan [ə] tersebut, berdampak pada penambahan jumlah silaba.
Konsonan pertama dari kluster yang disisipi bunyi [ə] menjadi silaba
baru dengan puncak silaba pada [ə]. Jadi, [tra] menjadi [tə+ra], [tri]
menjadi [tə+ri], [sri] menjadi [sə+ri], dan [slo] menjadi [sə+lo].
Apabila dikelompokkan, anaptiksis ini ada tiga jenis, yaitu protesis, epentesis, dan paragog.
1.Protesis adalah proses penambahan atau pembubuhan bunyi pada awal kata. Misalnya:
- mpu menjadi empu
- mas menjadi emas
- tik menjadi ketik
2.Epentesis adalah proses penambahan atau pembubuhan bunyi pada tengah kata. Misalnya:
- kapak menjadi kampak
- sajak menjadi sanjak
- upama menjadi umpama
3.Paragog adalah proses penambahan atau pembubuhan bunyi pada akhir kata. Misalnya:
- adi menjadi adik
- hulubala menjadi hulubalang
- ina menjadi inang
Bahan Pendalaman:
1.Pada
asimilasi progresif, dari mana diketahui bahwa bunyi yang
diasimilasi-kan terletak sesudah bunyi yang mengasimilasikan? Berikan
alasan yang jelas beserta contohnya!
2.Peristiwa asimilasi bisa dilihat secara sinkronis dan diakronis. Apa maksudnya? Berikan ilustrasi yang jelas!
3.Mengapa peristiwa labialisasi dan palatalisasi tidak dimasukkan dalam asimilasi ?
4.Berikan penjelasan tentang netralisasi atas fonem /g/ dan /k/ dalam bahasa Indonesia disertai contoh!
5.Secara sinkronis, dari mana bisa diketahui bahwa suatu bunyi itu termasuk peristiwa zeroisasi? Buktikan!
6.Peristiwa
monoftongisasi dilatarbelakangi oleh sikap pemudahan ucapan atas
bunyi-bunyi diftong. Pada peristiwa diftongisasi, apa yang
melatarbelakanginya? Jelaskan dan berikan contoh!
7.Berikan komentar atas kasus-kasus berikut!
(a) auto mobil hanya disebut mobil
(b) bagai ini disebut begini
(c) al salam menjadi assalam
(d) mahardhika menjadi merdeka
(e) in-port menjadi impor
Uraian lebih lanjut silakan baca Fonologi Bahasa Indonesia: Tinjauan Deskriptif Sistem Bunyi Bahasa Indonesia oleh Masnur Muslich (Bumi Aksara, 2008)
The 10 Best Online Casino In The Netherlands 2021
ReplyDeleteIf you're going to bet on online casino games for the 메리트 카지노 고객센터 first time, 바카라 this is the best online casino for 인카지노 you. Slots: Roulette, blackjack, baccarat, video poker, and craps